Telah Kulepaskan
Haruskah cinta yang telah kubangun ini pudar? Itulah pertanyaan yang sangat setia menemani kemana saja kumelangkah. Pertanyaan yang telah menggelapkan pandangan-pandangan positifku. Pertanyaan yang membuatku tidak dapat berkonsentrasi untuk memecahkan soal yang dihadapi murid lesku. Padahal masalah yang kuhadapi menuntut pemikiran yang jernih untuk menemukan solusi yang tidak berpihak. Solusi yang menguntungkan semua pihak.
“Bagaimana menurutmu, kak?” pertanyaan dik dini membuyarkan lamunanku.
“Apanya yang bagaimana, dik?” aku balik bertanya. Dik dini yang ada dihadapanku itu terbuka mulutnya sambil memandangku dengan dahi berkerut. Dipandangi seperti makhluk aneh, aku cepat-cepat mengambil sikap. Kuatur cara dudukku, kukatupkan dan kutaruh kedua tanganku di atas meja .
“Kak Ais, bagaimana caranya untuk mengerjakan soal seperti ini? Kak Ais kurang fit ya?” tanya dini.
“Oke. . . Aku minta istirahat sebentar, sepuluh menit lagi kita lanjutkan belajarnya.”jawabku berdiri melihat arloji yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Kemudian kutinggalkan ruang belajar menuju kamar dik dini. Kuhempaskan tubuhku di sofa, kupejamkan mata, kututupi wajah dengan buku. Aku merasa gelisah. Kumiringkan tubuhku ke kiri dan ke kanan, tengkurap, terlentang, berkali-kali. Kak ahmad. . . ya. . .Kak Ahmad yang membuat hidupku kacau seperti ini. Perkenalanku dengan Kak Ahmad tanpa sengaja satu setengah tahun yang lalu.
Ketika itu,sore menjelang maghrib. Aku terburu-buru menuju ke rumah warga yang dekat tempat perkemahan untukmengambil air wudlu. Di tengah perjalanan aku terjatuh. Kakiku terluka sehingga aku butuh orang untuk membantuku berjalan. Darah mengalir terus-menerus dan aku pun merasa kesakitan. Tiba-tiba seorang laki-laki menghampiriku.
“Ada yang bisa saya bantu” tanya lelaki yang akhirnya kukenal dengan nama Ahmad menawarkan jasa.
“Tidak usah, biar saya jalan sendiri saja!” tolakku basa-basi, padahal aku sangat berharap ada bantuan untuk mengobati kakiku dan membawaku kembali ke perkemahan.
“Tidak usah sungkan. . . jam segini jarang ada orang lewat, daripada kamu sendirian, sini saya obati lukamu!” balas Ahmad setengah memaksa. Dengan senang hati aku menerima tawaran. Aku duduk di pinggiran jalan sambil memandangi Ahmad yang mengobati kakiku. Aku mulai memperhatikan Ahmad yang pada waktu itu memakai T-Shirt berwarna hitam dipadu dengan celana cokelat. Ups. . .pikiranku mulai kemana-mana.
“Sudah selesai” kata Ahmad. Perkataan itu membuyarkan lamunanku. Sambil tersenyum Ahmad memandang wajahku yang kegirangan seperti anak kecil yang mendapatkan mainan.
“Lain kali hati-hati kalau jalan.” Kata Ahmad
Dengan gelagapan aku berkata, “ Iya. Te. . . te. . . terima kasih, Pak!”
“Jangan panggil Pak. . . kenalkan, Ahmad!” jawab Ahmad sambil mengulurkan tangan. Ketika aku hendak membalas uluran tangannya, tiba-tiba Ahmad menarik tangannya sambil berteriak kecil, “ Eit. . . tangan saya kotor! Kena betadine.”
“Maaf, tidak seharusnya tangan Pak. . . eh . . . kamu kotor. Gara-gara saya tanganmu kotor. Nama saya Aisyah!” aku membalas perkenalan ahmad.
“Sudah. . . tidak apa-apa, yuk dik saya antar ke perkemahan.”ajaknya sambil membantuku berdiri.
Setelah sampai di perkemahan, aku kembali mengikuti kegiatan raimuna. Kegiatan raimuna berlangsung selama empat hari. Selama di perkemahan aku sering bertemu dengan ahmad. Aku, Nay dan Ahmad sering sharing, bercanda, dan menghabiskan waktu bersama. Sejak itu hatiku berdesir, seperti ada yang beda. Aku benar-benar suka dengan Ahmad. Dan ternyata Nay juga suka dengannya sehingga aku mencoba menghilangkan perasaan itu. Setelah acara raimuna berakhir, aku tidak pernah lagi bertemu Ahmad.
Liburan kenaikan kelas telah habis. Semua siswa SD, SMP, maupun SMA kembali masuk sekolah seperti biasanya. Aku dan Nay semakin bertambah akrab setelah peristiwa raimuna. Di sekolahan, Nay sering cerita tentang Ahmad. Nay benar-benar jatuh hati pada Ahmad. Namun Nay tidak berani ngomong dengan Ahmad bahwa Nay suka dengan Ahmad.
Satu tahun kemudian, aku dan Ahmad bertemu kembali di sebuah kafe. Ahmad memesankan beberapa makanan dan minuman buat kita. Dengan cepat kita saling akrab dan sharing tentang kehidupan masing-masing. Ditengah-tengah perbincangan kita, sikap Ahmad tidak seperti biasanya. Dia lebih perhatian denganku. Sejak itu kita jadi sering bertemu. Pertemuan-pertemuan itu yang akhirnya menjadikan kita saling jatuh cinta. Kita pun jadian. Hari –hari kita terasa indah. Kita berusaha akan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada. Tak lama kemudian, Nay pun mengetahui bahwa aku dan Ahmad jadian. Setelah tahu hal itu sikap Nay kepadaku berubah. Dia seperti tidak mengenalku lagi. Aku baru ingat bahwa dia suka dengan Ahmad sehingga posisiku saat itu terjepit. Entah apa yang harus aku lakukan.
“Kak Ais, ayo kita belajar lagi.” kata Dini yang membangunkanku dari lamunan itu.
“Iya, yuk...!”jawabku. Kujelaskan semua teori dan kutuliskan semua rumus yang ada hubungannya dengan soal tersebut. Syukurlah Dini bisa langsung menangkap semua apa yang aku jelaskan. Kontrak belajar usai, aku diizinkan pulang. Pukul 19.30 WIB aku baru sampai rumah.
Malam semakin larut, tinggal bulan yang bersinar anggun sendirian. Aku beranjak tidur dan kuredupkan lampu kamarku yang tergantung di dinding. Kurebahkan diri di atas ranjang dan kumanjakan tubuhku di atas kasur tipis yang mulai lapuk. Terasa tulang punggungku menyentuh papan penyangga saat kurebahkan diri.
Sayup-sayup kututup mataku tapi tetap tak dapat terpejam. Pikiranku melayang-layang, menerawang entah kemana. Kuhempaskan tubuhku ke kanan dan kupalingkan wajahku. Kupandangi foto sahabatku yang tertata rapi di atas meja belajar. Bahagia rasanya jika kuingat kelakarnya. Ia sering sekali bersenda gurau bersamaku. Rasanya tiada hari tanpa dirinya. Dan aku selalu ingat dengan perkatannya.
“Senang susah kita selalu bersama. Dan kebahagiaan sahabat itu jauh lebih utama.”
Kucoba membuyarkan lamunanku. Kupejamkan kembali kedua kelopak mataku. Kuhempaskan kembali tubuhku ke kanan dan ke kiri. Bunyi reot tempat tidurku pun ikut memecahkan kesunyian malam. Suara dering jangkrik di luar sahut-sahutan silih berganti, suara nyamuk pun ikut melengkapi aktivitas malam. Tiba-tiba daun telingaku menangkap suara-suara asing dari luar.
“Suara telapak kaki?”ejaku dalam hati
“Suara kaki-kaki itu sekarang bertambah banyak,”pikirku.
Ada perasaan resah yang bergejolak di dadaku. Tak terasa jantungku berdegup kencang, nafasku tersendat-sendat dan pikiranku melayang ngeri memikirkannya. Perasaa takut itu begitu saja menyelinap dalam benakku. Namun pelan-pelan kucoba mengurai keresahan yang ada. Kutarik nafas panjang dan kudengarkan kembali diantara ribut suara kaki mereka. Telingaku dengan tajam langsung dapat menyambar kalimat itu.
“Kepung. . . kepung. . .!”terdengar pelan
“Ada yang memberi komando itu.”
“Tapi siapa mereka?”
“Apa rumahku yang mereka kepung?”
“Atau mereka hanya numpang lewat?”
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat kujawab itu melintas di kepalaku. Akhirnya aku keluar dari kamar dan menuju ke ruang tamu. Aku berdiri di dekat jendela sambil mengintip apa yang sebenarnya terjadi. Syukurlah ternyata mereka hanya numpang lewat saja. Aku segera bergegas kembali ke kamar dan tidur.
Sang mentari perlahan-lahan muncul dari ufuk timur seolah-olah tersenyum menyambut datangnya pagi. Seperti biasa aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Kuayuh sepeda dengan penuh semangat. Terkadang aku merasa minder dengan teman-temanku yang hampir seluruhnya berasal dari keluarga berada. Sedangkan aku berasal dari keluarga yang kurang mampu. Namun aku harus tetap semangat untuk menggapai cita-citaku. Dan aku tidak akan putus asa sebelum bisa mewujudkan semua keinginan almarhum ayah.
Di aula sekolahan, aku berpapasan dengan Nay. Namun dia bersikap seolah-olah tidak mengenalku. Bahkan dia tidak membalas sapaan dan senyumanku. Aku sedih dengan sikap temanku yang seperti itu. “ Tet. . . .tet. . . .tet. . . .” terdengar bunyi bel. Itu tandanya kegiatan belajar mengajar di sekolahan akan dimulai. Aku masuk ke kelas dengan menahan air mata. Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, aku tidak bisa berkonsentrasi. Dipikiranku hanya ada Nay. . .Nay. . .dan Nay. “Kenapa sikapmu seperti itu?”
“Apa karena Kak Ahmad, sikapmu berubah?”
“Aku minta maaf, aku nggak bermaksud untuk menyakitimu.”ucapku dalam hati.
Istirahatpun tiba. Saat itu Nay menuju ke kelasku. Aku merasa senang karena dia ke kelasku. Ternyata dia menemui Afria. Aku kecewa, padahal aku berharap agar Nay ingin menemuiku. Dan mereka asyik berbincang-bincang di teras kelas.
“Nay . . . “sapaku.
“Tidak usah ganggu aku. Aku lagi sibuk.” katanya sambil meninggalkanku sendiri dengan wajah sinis kepadaku.
Beberapa hari kemudian, aku sakit. Karena aku terlalu capek dan banyak pikiran. Setiap hari aku menghabiskan waktuku untuk sekolah, bantu orang tua, mengasih les pada anak-anak sampai malam. Sehingga waktu untuk istirahat pun hanya sedikit.
“Assalamualaikum . . . .”
“Waalaikumsalam . . . .”
“Kak Ais, hari ini aku banyak PR dan tugas Kimia. Kakak bisa nggak datang kerumahku sekarang?” tanya dik Dini.
“Iya dik, aku bisanya jam 19.00 WIB. Gimana?”
“Iya kak, tapi belajarnya sampai jam 21.30 ya? Soalnya aku ingin tugasku selesai semua dalam waktu dua setengah jam.”
“Iya dik, tapi ntar agak terlambat nggak papa ya dik?” tanyaku pada dik Dini.
“Iya kak, terima kasih ya kak.”
“Iya dik. Sama-sama.”
“Wassalamualiakum. . . . “
“ Waalaikumsalam . . . .”
Setelah adzan isya’ aku segera berangkat ke rumahnya dik Dini. Ku ayuh sepeda dengan semangat karena aku tidak mau mengecewakan dik Dini. Dini adalah murid lesku yang paling manja, sehingga akku harus sabar untuk menghadapi sikapnya. Dia sudah aku anggap seperti adikku sendiri, bahkan kita sering keluar bersama dan sharing masalah kita masing-masing.
“Dik Dini. . . . . “ panggilku.
“Iya kak masuk saja. Pintunya tidak terkunci kok. . . .”
“Iya dik. Ayo kita mulai sekarang.” kataku.
“ Ini kak, soal yang diberikan oleh guruku. Aku tadi sudah mengerjakan tapi masih ada yang belum bisa.” Kata dik Dini.
“Ini cara mengerjakannya dengan persamaan stokiometri biasa. Coba kamu kerjakan dulu nanti kalau tidak bisa baru saya ajari.” jawabku.
“Iya kak . . .” jawab Dini sambil mengerjakan soal.
Saat itu aku terbayang-bayang oleh Nay, sahabatku. Aku merasa bersalah karena aku sudah jadian dengan orang yang ia sayangi. Tapi mau bagaimana lagi, ini semua sudah terlanjur. Dan aku juga tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku sayang dengan Kak Ahmad, tapi aku juga sayang sama sahabatku. Hal itu membuat aku bingung harus berbuat apa, karena aku tidak mau menyakiti kedua orang yang aku sayangi.
“Kak Ais, ini sudah selesai. Apa ini sudah benar kak?” tanya Dini.
“Iya, sudah benar. Sekarang kamu benar-benar sudah menguasai semua konsep yang telah aku ajarkan. Minggu depan aku akan mengasih soal untukmu. Dan disitu aku akan mengajarkan cara tercepat untuk mengerjakan soal tanpa menghitung. Aku akan mengajar dengan metode penalaran. Bagaimana dik? Setuju apa nggak?” tanyaku.
“Iya kak, aku setuju.”
Les telah selesai. Aku pun pulang ke rumah dan langsung istirahat. Badanku terasa pegal karena seharian belum sempat istirahat. Akupun tidur dengan pulas.
“Ais, kenapa kau tega melakukan semua ini. Aku kira kau sahabat terbaikku, tapi ternyata kau telah mengkhianatiku. Aku tidak sudi berteman denganmu lagi. Mulai sekarang persahabatan kita bubar. Aku kecewa kepadamu.” kata Nay.
“Nay, aku tidak tahu kalau ternyata kamu masih suka dengan Kak Ahmad. Karena yang aku tahu kamu sudah punya cowok yang tulus sayang padamu. Aku minta maaf Nay, aku tidak bermaksud menyakitimu.” kataku.
“Apa kamu bilang . . . .! Maaf . . . . enak saja. Apa kamu tidak tahu . . . hatiku terlalu sakit.dan aku tidak bisa memaafkanmu. Sudahlah, aku tidak mau melihatmu lagi.” Nay pergi meninggalkan.
“Nay . . .Nay . . . Nay . . . aku minta maaf. “ teriakku.
Akupun mengejar Nay, untuk minta maaf. Dari arah barat, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Awaassss . . . .!
Brakk . . . .aku tertabrak mobil. Seluruh tubuhku berlumuran darah, Nay yang melihat kejadian itu. Langsung menghampiriku dan menangis.
“Ais . . . .aku minta maaf. Sebenarnya aku juga tidak mau marah dan membencimu. Tapi entah kenapa aku sakit ketika melihatmu.”
Kriiing . . . . kriiing . . . .kring . . .
Bunyi alarm itu membangunkanku dari tidurku. Alhamdulillah ternyata semua itu hanya mimpi. Aku takut jika mimpiku itu menjadi kenyataan. Dan aku bergegas mengambil air wudlu. Di keheningan malam aku berdoa pada sang pencipta alam, kuteteskan air mata, kusebut nama-nama-Nya yang begitu indah. Aku minta petunjuk pada-Nya, agar aku bisa mengambil keputusan yang tepat. Kucurahkan semua isi hatiku pada-Nya hingga aku merasa lega, tenang dan damai.
Setelah itu aku mengambil handphone dan langsung sms Nay.
Assalamualaikum,
Nay, aku minta maaf atas semua kesalahan yang aku perbuat kepadamu.
Dan aku tidak bermaksud untuk mengkhianatimu.
Aku pengen kita tetap menjadi sahabat sejati.
Maaf ya sobat.
Aku melanjutkan tidur sampai subuh tiba, aku bangun. Ku lihat ponselku, ternyata ada balasan sms dari Nay.
Iya, semoga langgeng ya.
Jujur aku sakit banget ketika tahu kamu jadian sama dia.
Mang sejak dulu dia itu sukanya sama kamu.
Bukan aku.
Tak terasa air mataku jatuh ketika membaca sms itu. Aku tahu gimana rasanya jika orang yang kita sayangi tidak membalas perasaan kita. Pasti sakit banget. Dan dari situ aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Siang hari, setelah pulang sekolah aku ketemuan dengan Kak Ahmad. Aku membicarakan hal yang sangat penting.
“Kak, bagaimana kalau kita berteman saja?” tanyaku.
“Aku terserah kamu saja.” jawabnya cuek.
“Jangan gitu a kak, aku butuh pendapat kakak. Gimana?”
“Kenapa kok kamu pengen kita berteman. Apa kamu sudah tidak sayang sama aku?” tanya Kak Ahmad.
“Aku sayang sama kakak, tapi aku tidak mau menyakkiti Nay. Apalagi kakak tahu kalau Nay suka sama kakak. Aku minta maaf, aku tidak bisa meneruskan hubungan kita.”
“Ya kalau kamu merasa hubungan kita menyakiti orang lebih baik kita temenan saja. Buat apa kita bahagia jika banyak orang yang tersakiti.” katanya sambil memegang tanganku.
“Aku berharap kamu bahagia, dan aku memang bukan orang yang tepat untuk kamu sayangi.” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.
Sejak saat itu sikap kak Ahmad berubah. Dia kelihatan benci denganku. Dia tidak mau bicara denganku, membalas smsku, menerima telepon dariku maupun bertemu denganku. Ternyata maksud baikku itu telah membuat orang yang aku sayangi meningggalkanku. Yaitu kak Ahmad dan Nay. Kini aku menjalani hidup tanpa kehadiran mereka. Berakhirlah persahabatan antara aku dan Nay yang sudah terjalin selama dua tahun, hanya karena seorang cowok. Selain itu hubunganku dengan Kak Ahmad juga berakhir menyedihkan. Kamipun menjalani hidup kita masing-masing dengan rasa benci.
Home »
Cerita pendek / Cerpen
» cerpen- lika liku kehidupan
cerpen- lika liku kehidupan
Label:
Cerita pendek / Cerpen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment