Perjuangan
“Awww . . . ., apa yang kau lakukan? Seenaknya saja menimpuk orang, kau sengaja ya.” protes Alan pada dua temannya yang melempar bola basket ke kepalanya.
“Tentu saja, itu pantas untukmu.”
“Kau benar-benar sudah gila, apa yang barusan kau lakukan? Menantang Jeri berduel? Haduh. . . . apa kau tahu siapa dia?”omel jesi dan kesi pada teman barunya.
“Memang siapa dia? Anak menteri, anak duta besar atau anak presiden?” celoteh Alan.
“Kau itu, Jeri itu, kau tahu . . . dia adalah salah satu pemain basket di pati dan bahkan di Indonesia. Dia dan tim basketnya sudah tiga kali berturut-turut menyandang juara bertahan di kejuaraan basket nasional, mereka juga pernah untuk kebolehan di Singapura.” jelas Jesi.
“Benarkah, wahh . . . . hebat sekali. Tapi jangan harap aku akan mengadukanmu pada pelatih.” ancam Jesi.
“Adukan saja, itu tidak akan mengubah apapun!!” teriak Alan.
Pelatih itu adalah pelatih baru di sekolah RIS. Nama aslinya Windya. Ia adalah salah satu dari anggota atau tim penyelenggaran kejuaraan-kejuaraan basket nasional. Alan tinggal bersama mereka ( nona Windya dan ayanya ) setelah neneknya meninggal. Belum genap satu bulan.
“Aduh kenapa lama sekali, sudah hampir setengah jam aku menunggu, tidak ada satupun bus yang lewat.” omel Alan kesal. Ia benar-benar sudah tidak sabar.
“Deghh . . . jantung Alan berdegup kencang. Matanya menangkap sesuatu, seorang gadis berjalan menuju halte.
“K . . . kau. . . EMAAA . . . .” alan berhampur dan langsung memeluk gadis itu terkejut.
“Ahh . . . . apa yang kau lakukan. Lepaskan aku!!” gadis itu terkejut.
“Ema, kau ingat aku. Aku Alan, teman kecilmu.” jelas Alan.
“Alan? Ema? Siapa Ema, em . . . . aku . . . . namaku bukan Ema, namaku Eni!!” jelas gadis kecil yang bernama Eni.
“Eni, ahh . . . kau bercanda ya, kau pikir aku tidak mengenalimu.” Alan bersikeras.
Eni semakin bingung denagn pria yang ada di hadapannya itu. Dan belum hilang kebingungannya seseorang memeluk pundaknya.
“Eni, apa yang kau lakukan disini?” tanya orang tersebut yang ternyata adalah Jeri, orang yang ditantang duel oleh Alan.
“A . . . aku hanya . . . .” belum sempat Eni menyelesaikan kalimatnya jeri sudah menariknya ke dalam mobil.
“Foto siapa itu?” tanya nona Windya mengejutkan Alan.
“Ini, bagaimana menurutmu? Apa dia cantik?” Alan menyodorkan foto itu.
“Emm . . . . lumayan cantik. Menurutku dia manis. Siapa orang di foto ini?”
“Namanya Ema. Dia teman kecilku. Aku melihatnya hari ini di halte. Dia tidak mengenalku.” ungkap Alan.
“Kasian sekali kau itu, tapi apa dia benar orang yang . . . . maksudku kenapa dia tidak mengenalmu? Atau mungkin karena kalian berpisah cukup lama.” Hibur nona Windya.
“Berpisah . . . .,” Alan merenung sejenak.
“Dia, dia pergi saat itu. Kau tahu kan kalau nenek melarangku main basket. Tapi aku tidak bisa, aku suka basket dan aku ingin main. Jadi hari itu aku kabur dari rumah untuk main basket. Namun sayang nenek mengetahui kepergianku. Ema tahu nenek mencariku, dia tahu nenek marah dan pasti akan memukulku lagi. Ema tak ingin aku dipukul nenek. Ini salahku. Aku yang salah . . . sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju saat itu, dan ema, dia . . . . dia tak bisa menghindar, tak ada yang bisa kulakukan. Dalam sekejab, Ema . . . . dia berlumuran darah, terbujur kaku di jalanan. Dia meninggal.” ucap Alan sambil menahan air matanya.
“Meninggal, . . . maksudmu, lalu siapa yang kau lihat tadi di halte tadi itu. Apa dia?
“Hantu . . . .” Alan menyela nona Windya.
“Mana da hantu disiang hari ini, kau ada-ada saja. Dia bukan hantu, orang yang kau lihat hari ini, dia kekasih Jeri.”
“Oh ya, ngomong-ngomong soal Jeri, apa benar kau menantangnya berduel?”
“Ya ampun . . . .” Alan menepuk dahinya
“Jadi benar kedua bersaudara itu mengadukanku.”
“Jangan salahkan Jesi dan Kesi, kau itu benar-benar nekat. Ingat ya Alan, Jeri itu bukan orang sembarangan, kau harus berhati-hati menghadapi dia.” Pelatih itu memberi nasihat.
“Apa anda yakin, tapi kenapa? Apa ada jalan untuk itu, oh yang benar saja. Bagaimana mungkin? Baiklah saya akan berusaha.” Pak Antony menutup telpon dan merosot di sofa.
“Ayah, ada apa? Ayah kelihatn pucat, apa ayah sakit?” nona Windya mencemaskan ayahnya.
“Ayah tak apa-apa, hanya saja ada masalah dengan RIS. RIS akan ditutup.”
“Ditutup, tapi kenapa ayah. Ap maksud ayah? Nona Windya mendesak ayahnya.
“Windya kau tahu kan RIS, sekolah itu dibangun karena obsesi seseorang pada basket, dan benar saja itu sekolah yang hebat, sekolah favorit di Pati, tidak mudah untuk masuk ke sana. Banyak atlet besar basket lulusan RIS. Hampir 20 tahun malaikat RIS, kau tahu kan sebutan untuk tim basket RIS, begitu berjaya, memboyong berbagai piala kejuraan. Tak terkalahkan. Tapi masa lalu, sudah sejarah. Tidak ada lagi malaikat RIS, yang ada hanya pecundang RIS, yah setidaknya itulah yang sekarang dikatakan orang-orang tentang RIS. Dan pihak yayasan sudah tidak ingin mempertahankannya lagi. Kecuali . . . . kita bisa menang turnamen basket bulan depan.”
“Ema . . . ., eh maksudku Eni, apa yang kau lakukan disini?” tanya Alan.
“Kau, siapa namamu . . . .oh ya Alan, yah aku sekolah disini, ini hari pertamaku.” terang Eni.
Kesi dan Jesi mendekat dari belakang.
“Wah wah . . . . enak sekali hidupmu, sudah membangunkan macan tidur, tapi kau tidak khawatir akan dimakan.
“Apa maksudmu?” Alan terkejut.
“Apa lagi, tentu saja duelmu dengan Jery.” jelas Kesi.
“Tunggu, apa maksud kalian duel? Jery? Apa yang terjadi . . . .” sela Eni ingin tahu.
“Heh . . . . siapa gadis ini?” tanya Jesi.
“Ini Eni, dia anak baru disini. Eni, ini Kesi dan Jesi temanku.” Alan memperkenalkan.
“Ya, aku Eni, aku anak baru disini. Jadi bisa kalian jelaskan apa yang terjadi?”
“Baiklah . . . . kau tahu, orang yang ada di sampingku itu, seenaknya saja mengajak duel Jeri.” jelas Jesi.
“Duel? Maksudmu Alan dan Jeri.” Eni mengalihkan pandangan pada Alan.
“Apa benar Alan? Kau . . . . kau benar-benar bisa basket? Oh . . . . kau akan mati jika kau mengandalkan gaya saja.” oceh Eni khawatir. Alan hanya nyengir mendengarnya, dia malah menyuruh teman-temannya melihat besok saat duel dimulai.
Sore itu di lapangan basket RIS, sebenarnya sih sudah beralih fungsi menjadi lapangan parkir. Semua orang sudah berkumpul untuk menyaksikan duel antara Alan dan Jeri.
“Alan . . . .” Eni berteriak dan menuju lapangan.
“Eni, kau datang, wah aku senang sekali. Oh ya, ini pelatihku, dia pelatih baru di RIS.” Alan memperkenalkan. Eni memberi salam padanya, dan melanjutkan.
“Alan apa kau yakin dengan ini, belum berakhir untuk membatalkannya.”
Belum sempat Alan menjawab, Jeri datang.
“Akhirnya kau datang juga, kukira kau tidak akan datang.” Alan menyambut Jeri.
“Kita mulai sekarang. Aku tidak punya waktu untuk main-main disini.” ucap Jeri dingin.
“Apa kau bilang . . . . main-main . . . . baiklah tapi sebelumnya aku adea penawaran untukmu. Pertandingan ini jika aku menang, kau harus mau bergabung dengan tim basket kami. Tapi jika kau menang, kau boleh melakukan apa saja pada tim ini, dan kami akan menjadi pelayanmu selama sem . . . .,” Kesi menyeret Alan ke belakang sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Mereka memprotesa yang dipertaruhkan Alan, menjadi pelayan. Oh . . . . yang benar saja, mana mau mereka. Alan melirik pada pelatihku, tapi kelihatannya sia-sia saja.
“Pelatih, seharusnya kau mendukungku, kau pikir aku tidak tahu jika sekolah ini ditutup jika kita tidak memenangkan turnamen bulan depan.” Alan protes pada pelatih itu.
Kesi dan Jesi cemas mendengar RIS akan ditutup. Bukan apa-apa tapi siapa mau menampung pecundang kalau sekolah pecundang ini ditutup.
“Baiklah aku setuju.” ucap Jeri dari belakang.
Pertandingan dimulai, dari awal pertandinagn Jeri mendominasi bola, itu benar-benar tidak berimbang. Alan tak ada kesempatan untuk memegang bola. Apalagi mencetak angka. Jesi, Kesi, pelatih, serta Eni cemas akan hal itu. Rekor 7-0 Alan tidak bisa mengimbangi gerakan Jeri yang terkoordinasi.
“Satu angka, jika kau dapat mencetak satu angka saja, kau menang.” ujar Jeri.
“Apa maksudmu, aku . . . .” Alan protes, tapi denga gesit Jeri kembali mencetak angka.
“Alan . . . . kau jangan sampai kalah ya!!” teriak Eni memberi semangat.
Mendengar hal itu Alan bertambah 50 kali lipat semangatnya. Sementara Jeri, konsentrasinya buyar tak menyangka orang yang dicintainya malah memberi semangat pada orang lain bukan padanya. Ia merebut bola dari Jeri dan shoot, Alan memasukkan bola itu pada ring. Ia mencetak angka yang berarti dia menang. Alan berjingkrak-jinkrak tak percaya, begitu pula denag teman-temannya. Sementara Jeri, ia hanya dalam mematung disisi lapangan. Namun tiba-tiba. Brakk, tiang basket yang sudah tua dan mungkin juga kropos rubuh menimpa Alan. Kesi dan Jesi cepat menolongnya.
“Hei . . . . Jeri, kau masih ingat kan perjanjian kita, mulai sekarang kau adalah bagian dari tim RIS.” ucap Alan saat berdiri.
“Oh . . . .kau Windya, ada apa?”
“Ayah, begini. Aku sudah memikirkan ini baik-baik. Tentang RIS yang akan ditutup. Aku ingin melatih tim basket RIS.”
“Windya apa maksudmu, tim apa? Ayah tidak mengizinkanmu. Lebih baik kau kembali ke Jakarta, kembali pada pekerjaanmu.”
“Tidak ayah, aku sudah putuskan ini. Dan soal tim, hari ini Jeri bergabung dengan kami.”
“Jeri . . . . maksudmu? Oh baiklah sebagai kepala sekolah RIS tidak seharusnya ayah melakukan itu, tapi ayah tidak mau ikut campur dengan tim kalian.”
“Ayah tidak perlu khawatir.”
“Kalian semua sudah berkumpul, eh, siapa dia?” tanya pelatihku.
“Namanya Jun, dia sering latihan denga kami. Tapi akhir-akhir ini dia sibuk dengan kelas teaternya.” Kesi menjelaskan.
“Salam kenal, aku Jun. Setelah mendengar tim basket ini aktif lagi, aku ingin bergabung.”
“Baiklah kalau begitu kita tidak perlu repot-repot mencari anggota baru. Pertemuan kita hari ini kita akan membahas jadwal latihan kita.”
“Tunggu bagaimana kita latihan, bukankah lapangannya sudah menjadi lapangan parkir.” sela Kesi.
“Sudah ku duga, kalian pasti mendapat masalah. Aku dengar di belakang sekolah ada lapangan kosong. Akku sudah minta izin pada OSIS, jadi kalian bisa menggunakannya.” usul Eni.
“Apa ini lapangan yang Eni maksud, yang benar saja. Apa kita akan main petak umpet denagn kodok disini ilalangnya tinggi sekali.”
“Benar sekali, butu beberapa hari untuk membereskannnya. Aku tidak mau latihan disini.”
“Aku juga.” Kesi dan Jesi meninggalkan lapangan diikuti yang lain.
Hanya Alan yang tinggal. Semangatnya memang selalu meluap kalau soal basket, maka tanpa basi ia segera mencabuti ilalang itu. Malam sudah larut, tapi Alan belum selesai mencabut.
“Alan . . . . sudah ku duga, kau pasti disini, aku menelephone, tapi pelatih bilang kau belum pulang.” ujar Eni.
Alan senang sekali Eni datang ditengah malam begitu dengan cahaya bulan mereka mencabuti ilalang bersama-sama dan baru selesai setelah pagi menyingsing.
“Akhirnya selesai juga. Eni terimakasih sudah membantuku, sekarang pulang dan istirahatlah. Kau pasti capek.”
“Ya, kau juga ya Alan.” ucap Eni, kemudian pergi.
Alan tidak langsung pulang ia menelephone teman-temannya dan pelatih untuk latihan.
“Wah . . . . wah . . . . apa benar itu lapangan yang aku lihat kemarin?” semua orang tak percaya melihat lapangan yang kemarin dipenuhi ilalang sekarang bersih.
“Baiklah, kita mulai latihan sekarang. Aku ingi melihat teknik kalian memasukkan bola. Kalian punya 3 menit untuk 20 bola. Jesi kau yang pertama.” jelas pelatih.
Secara bergantian mereka menunjukkan kebolehan masing-masing. Jesi menggunakan teknik dribel, Kesi dan Jun dengan lay-up shoot, Jeri dengan tembakan meriam, teknik menembak dari tengah lapangan siku teratur. Hampir lima menit waktu yang dibutuhkan, kecuali Jeri yang hanya satu menit. Saat tiba giliran Alan,
“Berhenti, apa yang kau lakukan? Yang lain lanjutkan latihan. Alan ikut aku.” seru pelatih.
Ternyata pelatih membawa Alan ke jembatan penyeberangan.
“Kenapa kemari? Bukankah seharusnya kita latihan?” protes Alan.
“Latihan apa, mendribel bola saja kau tak bisa. Sekarang kau dribel bola ini sambil menyeberangi jembatan. Ulangi jika bolanya jatuh, dan jangan berhenti sebelum berhasil.” kata pelatih itu lalu pergi.
Sudah 20 kali Alan mendribel dan mencoba menyeberangi jembatan itu, namun gagal. Sampai tiba-tiba Eni muncul dan bertanya apa yang sedang dia lakukan.
“Aku . . . . em . . . . pelatih menyuruhku menyeberangi jembatan itu denag mendribel bola.” jelas Alan.
“Dan sepertinya belum berhasil.” tebak Eni.
“Ini, istirahat dulu. Nanti lanjutkan lagi.” Eni memberikan sebotol air mineral. Mereka duduk di salah satu anak tangga sambil ngobrol panjang lebar.
“Baiklah Eni, aku mencobanya lagi. Kau tunggu di seberang ya.” Pinta Alan.
Eni menurut. Alan mulai lagi dan hampir bisa, kurang tiga anak tangga lagi, oh sayang bolanya lepas.
“Pelan-pelan Alan, langkah kakimu harus seirama denga ketukan bola.” jelas Eni.
Alan mengerti, ia mencobanya lagi dan kali itu dia berhasil.
“Ye . . . . ye . . . . Eni aku berhasil, kau lihat itu kan.” Alan kegirangan bersama Eni. Secara dikejauhan pelatih ikut tertawa melihat kelakuan anak didiknya.
Waktu pertandingan sudah semakin dekat. Alan dan kawan-kawan berlatih makin keras.
“Alan bukan seperti itu, saat melakukan shoot tolakan harus kuat, perhatikan arah lemparmu.” omel pelatih.
“Apa lagi yang salah, baiklah tunjukkan aku cara yang benar.” Alan memberikan bolanya pada pelatih itu.
“Aku tidak bisa memeragakannya.”
“Apa? Kau ini kan pelatih mana mungkin bisa begitu?” tuntut Alan.
“Pekerjaanku adalah melihat dan menilai teknik permainan seseorang. Aku dapat menilainya hanya satu kali lihat.” jelas pelatih itu kesal.
Waktu berlalu cepat sekali. Tanpa terasa pertandingan dilaksanakan besok. Sangat mendebarkan. Begitu yang dirasakan para pemain RIS. Termasuk Alan. Dia sampai memutuskan jalan malam karena tidak bisa tidur.
Sebentar lagi, pertandingan dimulai. Pemain RIS sedang bersiap di ruang ganti pemain. Alan sedang memamerkan serangan pada teman-temannya saat itu.
“Hei apa aku terlihat keren dengan ini? Lihat!! Nomor punggungku adalah satu.”
“Keren apanya, kau hanya beruntung mendapatkan nomor satu.”
Jesi kecewa saat pembagian nomor punggung Alan dan yang lainnya berebut nomor satu, untung sebagai kapten dapat bersikap dewasa. Ia membuat undian untuk nomor itu.
“Hentikan pertandingan ini akan dimulai, atur napas kalian dan cepat keluar. Aku tunggu di luar.” pelatih memisahkan mereka.
“Priiiiit . . . . .” wasit meniup peluit tanda dimulainya pertandingan. SMA 55 Pati adalah lawan SMA RIS. Dibabak pertama RIS mendominasi pertandingan, skor unggul.
Tentu saja karena disitu ada Jeri dan tim SMA 55 tidak membiarkan itu terjadi.
“Time out . . .” pelatih SMA 55meminta waktu pada wasit. Dibangku pemain sepertinya mereka sedang mengatur strategi. Pertandingan kemudian dilanjutkan. RIS kembali mendominasi pertandingan, Jesi yang memegang bola dan siap untuk menembak, namun tiba-tiba seorang lawan menenggornya denag sengaja. Jesi tidak terima, sifatnya yang tempramen lansung muncul, dan ia hendak memukul pemain itu, tapi wasit lebih dulu mengeluarkannya. Kesi tidak terima saudarnya dikeluarkan, ia protes.
“Untuk apa kau protes,orang itu memang sudah seharusnya dikeluarkan. Kalian itu memang pecundang.” kata seorang dari tim SMA 55 dan kau ini disambut dengan tinju kes. Ia pun bernasib sama dengan saudaranya, dikeluarkan dari pertandingan.
Bagus rencana SMA 55 berjalan dengan baik, hanya tinggal Jeri. Dan benar saja mereka berhasil menjegal Jeri sampai-sampai ia tak bisa melanjutkan pertandingan.
“Astaga, pelatih bagaimana ini, uhh . . . . kita benar-benra sudah berakhir, sekarang hanya tinggal Jun dan Alan. Tapi sepertinya Aln tak bisa kita andalkan, lihat saja belum-belum ia sudah terkena pelanggaran karena memegang bola selama 2 menit, lalu melempar bola ke bangku penonton. Ohh . . . . tamatlah kita.” omel Kesi.
Saat itu pergantian babak Alan sedang ke toilet. Saat ia kembali, ia mendekati Jun dan membisikkan sesuatu padanya. Jun mengangguk tanda mengerti.
Pertandingan dilanjutkan, diluar dugaan. Apa yang dilakukan Jun dan Alan mereka bertengkar ditengah lapangan, saling meneriaki satu sama lain dan itu mengagetkan semua orang, termasuk tim 55. Dan di luar dugaan, Alan menyerobot bola dari tim 55, mengumpannya pada Jun dan shoot Jun berhasil menyetak angka. Ternyata itu hanya strategi mereka saja untuk mengulur waktu. Hal ini terus mereka lakukan sampai wasit meniup peluit akhir pertandingan. Tim RIS menang, sangat mengejutkan sekor mereka hanya selisih satu angka.
“Aku tak menyangka kita menang. Aku pikir kita berakhir disini, kalian berdua hebat. Pelatih kita harus merayakan ini!!” Kesi kegirangan.
“Baiklah kalian sudah ekerja keras hari ini, aku akan memesan tempat di Sapta Rengga Baru.”
Di Sapta Rengga mereka benar-benar berpesta.
“Oh . . . . apa yang sebenarnya kalian lakukan saat pertandingan tadi?” tanya Jesi.
“Jangan tanya itu rencana Alan.” Jun menerangkan.
Itu memang rencana Alan sebenarnya saat izin ke toilet, ia menyempatkan diri membaca buku yang semalam ia beli. Trik-trik mengulur waktu dan memanfaatkan peluang. Malam semakinlarut, Jeri pamit untuk pulang terlebih dahulu.
Jeri mengendarai mobilnya denag kecepatan tinggi, tak banyak kendaraan yang lalu lalang karena malam sudah larut.
Ciiiiiiiiiit . . . . ban mobilnya berdecit karena Jeri menghentikan mobilnya mendadak. Segerombol orang menghadangnya ditengah jalan. Mereka dari anak-anak cosmos.
“Hei kapten, sudah lama ya kita tidak bertemu.”
“Kapten? Hah, siapa kapten orang tidak pantas disebut kapten, dia lebih pantas disebut pecundang.”
Ternyata mereka tim basket Jeri sebelum ia pindah ke RIS.
“Apa yang kalian inginkan?” tanya Jeri.
“Yang kami inginkan” seorang maju.
“Memberi pelajaran kepadamu.” Diikuti orang lain, mereka mengkeroyok Jeri. Jeri dapat menghalau serangan mereka, namun ia kuwalahan kondisinya tidak mendukung. Saat bersamaan Alan lewat, ia melihat mobil Jeri terparkir ditengah jalan dan menghampirinya. Alan terkejut, itu memang mobil Jeri dan sekarang orangnya sedang dikeroyok. Tanpa basa-basi ia menolong Jeri. Alan benar-benar marah saat melihat Jeri babak belur tak berdaya. Ia menghajar anak-anak itu. Hebat juga Alan kalau sedang marah, anak –anak itu bergelempangan di jalan karena di hajar.
“Jeri, kau sudah sadar, kau baik-baik saja kan?”
“Kakek . . . En, aku dimana?”
“Kau di rumah sakit, kata dokter sesesorang membawamu kemari semalam.”
“Ya, dia bilang dia temanmu.” jelas dokter.
Jeri segera teringat pada Alan.
“Dia dirawat di ruang sebelah, dia pingsan setelah membawamu kemari, sepertinya dia kelelahan menggendongmu sampai kemari.”
Di ruang sebelah, pelatih menunggu Alan, sesaat kemudian Alan sadar , tepat saat Jeri menjengukmya.
“Alan kau sudah sadar. Terimakasih, kau sudah menolongku. Aku berhutang padamu.” kata Jeri disambut ocehan Alan yang terlalu bersemangat, bahkan sampai tidak sadar kalau dia sedang diinfus sampai tiang infusnya jatuh menimpanya. Jeri dan peltih tertawa melihatnya.
Alan dan Jeri sudah keluar dari rumah sakit, kondisi mereka sudah membaik dan mulai latihan lagi. Kemampuan mereka meningkat, begitu juga dengan Alan. Mereka selau menang dalam setiap pertandingan.
“Jadwal pertandingan minggu depan sudah keluar. Lawan kita SMA Cosmos.” umum pelatih.
“SMA Cosmos? Bukan itu tim kamu ya Jeri?” ujar Jun.
“Jeri apa kau baik-baik saja?” tanya pelatih cemas.
“Ya . . . . kalian tenang saja.”
Suara penonton bergemuruh memenuhi studio. Kedua tim sudah bersiap di lapangan. Jeri tampak gelisah, sepertinya ia belum bisa melupakan apa yang mereka lakukan padanya malam itu. Pertandingan berlangsung sengit, kedua tim gencar melakukan serangan. Skor cosmos unggul. Jeri tak bisa konsentrasi, fikirannya kacau, dan itu berdampak pada permainannya, bisa sangat mudah pihak lawan merebut bola darinya. Hal itu berdampak pada pemain yang lain. Mereka sudah berusaha untuk menciptakan peluang, namun Jeri tidak bisa memanfaatkan untuk mencetak poin. Hingga saat menit-menit terakhir saat Jeri ingin memasukkan bola, seorang tim cosmos menghadangnya, menerobos merebut bola, dan menyodok ulu hati Jeri, tak ada yang tahu.
Pritttt . . . . wasit sudah meniup peluitnya. RIS kalah.
Jeri benar-benar tidak menyangka bahwa dia kalah., seluruh badannya kaku, tubuhnya gemetar, ia tak dapat menerima kekalahan ini, ini kekalahan pertama baginya.
“Bukankah hari jadwal pertandinag cosmos, siapa lawannya?”
“Mereka bertanding dengan SMA Harapan.” Kesi menjawab saudaranya.
“Cosmos . . . .” alan mengepalkan jarinya.
“Rasanya aku ingin menhajar mereka. Aku ingin bertanding lagi dengan mereka.”
“Masih ada kesempatan, jika lusa kita memenangkan pertandingan, dan cosmos kalah dari itu, kita akan bertemu di final.” ujar Jeri.
“Tapi itu tidak mungkin, SMA Harapan bukan lawan yang sepadan, cosmos bisa dengan mudah mengalahkan mereka.”
“Apanya yang tidak mungkin bagi cosmos, bisa saja mereka hari ini kalah.” Kesi memprotes Jesi.
“Oh . . . . aku akan menggendongmu keliling lapangan 10 kali jika itu benar-benar terjadi.” kata Jesi.
“Tunggu dulu, hasil pertandingan sudah keluar.” Jun mengecekya di internet
“Cosmos kalah.”
“Oh . . . . hahaha, kau dengar saudaraku sayang, cosmos kalah.” Kesi meloncat ke punggung saudaranya.
“Kau ingat janjimu tadi . . . . ayo gendong aku.”
Semua tertawa melihat tingkah dua saudara itu.
“Windya, kau baik-baik saja sayang, hidungmu berdarah.” Ayahnya cemas.
Pelatih itu tak menyadari jika hidungnya berdarah, ia segera membersihkannya.
“Aku tidak apa-apa ayah, hanya terlalu capek, aku akan istirahat.” kata pelatih menenangkan ayahnya.
Jeri dan timnya benar-benar mempersiapkan diri untuk menghadapi cosmos. Tak ingin kalah untuk kedua kalinya. Pelatih sedang mengawasi mereka dari tepi lapangan. Tiba-tiba darah kembali mengalir dari hidungnya lalu pingsan.
“Dokter bagaimana keadaan anak saya?” tanya pak Antony cemas.
“Ini sudah sangat parah.”
Pak Antony tak mengerti apa yang dimaksud dokter.
“Apa nona Windya tidak memberitahu Anda? Dia mengidap kanker darah. Sudah stadium lanjut.”
“Windya . . . . kau sudah sadar.”
“Ayah . . . .”
“Sayang kenapa denganmu, kau tega sekali membohongi ayah. Bagaimana kau bisa merahasiakan ini pada ayah.”
“Ayah, jangan begitu. Aku mohon ayah, jangan sampai anak-anak tahu dengan hal ini, setidaknya izinkan aku untuk berbuat sesuatu dan menyelesaikan semua itu sebelum aku meninggal.”
Nona Windya benar-benar jenuh di rumah. Semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Ayahnya membatasi aktivitasnya. Ia sudah tak tahan lagi. Kemudian memanggil Alan dan menyuruhnya mengumpulkan anggota timnya untuk latihan.
“Baiklah anak-anak beberpa hari lagi final akan dilaksanakan. Jadi kita memanfaatkan waktu yang tersisa ini untuk latihan dengan sebaik mungkin. Gentong yang ada di depan kalian itu sudah terisi air penuh. Sekarang gendong gentong itu dan lari keliling bukit 10 kali di sekitar lapangan.” Pelatih menjelaskan.
Tanpa komando lagi anak-anak itu sudah berlari.
Sudah enam putaran. Saat Jun jatuh karena tersandung. Bersama-sama Alan Jeri mengulurkan tangan.
“Ayo . . . dan dengan senang hati Jun menerimanya.
“Sepi sekali rumah itu, apa pelatih dan paman belom polang? Apa itu.” Alan menemukan sebuah surat di meja makan dan membacanya.
“Ada apa Alan, kenapa tiba-tiba ingin bertemu?” tanya Jun.
Alan tak berkata apa-apa. Ia menyerahkan surat itu pada teman-temannya.
“Itu laporan kesehatan pelatih” disitu tetulis jelas “Kanker Darah” pelatih mengidap kanker darah stadium lanjut.
“Pelatih punya alasan khusus menyembunyikan ini dari kita, dia tidak ingin jadwal latihan dan pertandingan berantakan gara-gara itu. Kita harus bisa menghargai pelatih, dan berikan yang terbaik saat pertandingan nanti.” ujar Jeri mencoba menenangkan timnya.
“Ini pertandingan terakhir, tapi bukan yang terakhir, jangan pikirkan kalah atau menang. Bermain saja sebaik-baiknya. Dan harus selalu kalian ingat kerja sama tim adalah sebuah tantangan yang tidak hanya melibatkan keterampilan bermain, namun juga dinamika antar pemain. Kalian mengerti?”
“Ya, pelatih.” jawab mereka serempak.
Pertandingan dimulai, ada formasi baru dari cosmos. Tapi kali ini RIS tidak mau kalah. Pertandingan seru sekali tak ada yang mau mengalah disini, keduanya sama-sama ambisius untuk menang.
Pelatih itu, sepanjang pertandingan ini mengawasi seorang pemain baru cosmos aneh sekali. setiap masuk lapangan ia berganti pakaian, rambutnya juga kering, padahal saat keluar dalam kondisi basah.
Pelatih memberi kode pada salah satu pengawas pertandingan dan menceritakan keanehan-keanehan itu. Panitia menanggapi dengan baik, secara diam-diam mereka memiliki anggota kembar tiga.
“Jadi begitu mereka memasukan orang berbeda bergantian dalam lapangan. Pantas saja teknik tidak bisa terbaca, karena selalu berubah-ubah. Benar-benar licik.” omel Alan.
“Ini akan semakin sulit, selanjutnya mereka bertiga pasti akan diturunkan bersama-sama. Selain wajah mereka, nomor punggunnyapun mirip. (8, 13, 23)
Kesi kau jaga nomor 13, struktur tubuh kalian hampir sama, jadi lebih mudah untuk menghadangnya. Jesi kau jaga nomor 23, dan 8 kau yang jaga Jun. Alan sebisa mungkin ciptakan peluang untuk menciptakan angka, dan Jeri kau tahu apa yang harus kau lakukan.” jelas pelatih.
Benar saja tiga pemain kembar memang diturunkan bersama dan sesuai intruksi pelatih, tim RIS bergerak sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Perlu penyesuaian menghadapi tiga anak kembar dalam lapangan, mereka seperti hantu yang muncul dimana-mana.
“Baiklah teman-teman, hanya ada sisa waktu beberapa menit saja, berusahalah untuk mendapatkan poin. Masa depan RIS ada di tangan kita. Selain itu jangan kecewakan pelatih.” ujar Jeri membakar semangat teman-temannya.
Bola berada di tangan cosmos saat itu, dia mendribel dan berlari menerobos daerah pertahanan RIS dan langsung menembak. Sangat mendebarkan, dan andai saja Jeri tidak memotong gerakannya, mereka pasti kalah. Jeri berhasil merebut bola dan berlari ke arah ring cosmos, tapi terus dibayangi oleh halau pemain cosmos. Ia tak dapat bergerak. Semua temannya juga dibayangi dengan ketat, hanya saja Alan, dia yang paling dekat ring, mungkin akan sulit untuk mengelak, tapi Jeri percaya.
“Alan . . . . teriak Jeri pada Alan sambil melakukan wallpass. Alan memahami situasi dengan baik. Alan menangkap bola itu, berputer mengelak dari penjagaan dan lay up drop step.
Pritttt . . . . wasit sudah membunyikan peluit, semua orang tercengang tak percaya apa yang mereka lihat, Alan berhasil memasukkan bola yang berarti kemenangan untuk RIS. Penonton bersorak gembira menyambut kemenangan itu. Jeri, Kesi, Jesi, dan Jun langsung menubruk Alan, berpelukan dan berjingkrak bersama.
Sementara ditepi lapangan pelatih mersa damai dalam hatinya. Tugasnya sudah selesai, malaikat RIS telah kembali, SMA RIS tak jadi ditutup. Pikirannya menerawang jauh . . . . jauh menembus langit. Tubuhnya terasa ringan, ia terbang. Terbang menuju kehidupan yang abadi.
Home »
Cerita pendek / Cerpen
» cerpen- perjuangan hidup
cerpen- perjuangan hidup
Label:
Cerita pendek / Cerpen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment