Kehidupan dan Penderitaan
Saat itu cuaca tak bersahabat, aku mengayuh sepedaku dengan laju cepat. Tak kuhiraukan orang-orang yang ada disekitarku, yang ada dalam fikiranku adalah kejadian istirahat tadi saat di sekolah. Kejadian di mana Afin, sahabatku dipukuli segerombolan anak-anak kelas lain. Aku merasa tak terima atas kejadian itu, tapi aku juga tak berhak mencampuri urusan mereka.
Setelah sepuluh menit berlalu, aku akhirnya sampai di rumah, saat itu menunjukkan pukul 17.00 WIB. Aku segera mandi lalu membersihkan kamarku yang penuh dengan barang-barang berantakan. Kurapikan barang itu sehingga semuanya tertata rapi sesuai dengan yang kuinginkan.
“Van. . . . makan dulu nak, nanti baru istirahat.” kata ibuku dari luar kamar.
Beliau adalah seorang ibu yang paling baik bagiku, paling pengertian dan perhatian bagiku. Sejak ayah meninggal, ibu yang merawatku dan adikku. Beliau adalah tulang punggung keluarga kami. Adikku adalah gadis cilik yang cantik, lucu dan lugu. Namanya Fatimah Nuraini. Kami biasa memanggilnya Ima, dia baru duduk dibangku TK. Kami sekeluarga saling menyayangi sehingga kelurga kami hidup harmonis.
“Iya Bu, sebentar.” jawabku pada ibu.
Setelah beberapa menit, akupun keluar kamar dan menuju meja makan. Ternyata Ibu dan Ima sudah menantiku. Mereka memberi senyuman padaku, aku pun membalasnya dengan senyuman pula.
“Kak, tadi kok lama di kamarnya?” tanya Ima padaku.
“Tadi kakak berih-bersih kamar, soalnya kamar kakak berantakan sekali.” jawabku.
“O. . . . gitu, tapi besok-besok kamar kakak biar Ima yang bersihin aja ya. Biar kakak bisa langsung istirahat kalau pulang sekolah.” kata Ima.
“Tidak usah Ma, kamu belajar saja yang rajin supaya cepat pintar.” kataku pada Ima.
“Ya udah kalau kakak tidak mau.” jawab Ima.
“Bu, habis makan Evan mau pergi ke rumahnya Afin. Soalnya tadi saat istirahat Afin dipukuli segerombolan anak kelas lain. Tapi Evan tidak tahu siapa mereka dan apa masalahnya.” kataku pada Ibu.
“Lalu bagaimana keadaan Afin?” tanya Ibu.
“Badannya banyak yang lebam, Bu.” jawabku.
“Ya sudah, kamu cepat makan. Habis itu baru ke rumahnya Afin.” perintah Ibu.
“Kak, Ima boleh ikut jenguk Kak Afin ya?” pinta Ima padaku.
“Tidak usah Ma, kamu di rumah saja sama Ibu. Selain itu kamu kan belum belajar. Nanti PR-mu tidak kamu kerjakan, kamu bisa dihukum Bapak/Ibu Gurumu.” kataku pada Ima.
“Kamu hati-hati ya Van.” saran Ibu padaku.
Aku hanya mengangguk kepala, lalu meneruskan makan besama mereka.
Selesai makan aku bergegas untuk ke rumah Afin. Kuambil sepeda butut peninggalan ayahku itu untuk pergi ke rumah Afin. Jarak rumah Afin dari rumahku cukup jauh. Aku harus melewati jalan sepi untuk sampai ke rumah Afin. Tak beberapa lama aku sampai di jalan sepi dan gelap itu. Aku mengayuh sepeda dengan hati-hati, kuperhatikan sekelilingku tapi tak ada seorang pun lewat jalan itu. Bulu kudukku mulai berdiri saat kudengar tawa yang keras dari salah satu sisi jalan. Kuperhatikan suara itu baik-baik. Akupun sadar jika suara itu bukan suara biasa, bukan suara setan atau ghaib yang biasa kudengar dari orang-orang sekitar jalan ini. Kuhentikan sepedaku, kudengarkan lagi suara itu, dan itu membuat buluku merinding. Aku mengendap-endap mencari arah suara itu, sesaat terdengar suara itu. Lalu kuhampiri suara itu. Aku mengintip dari semak-semak. Kulihat dari jauh Boim, Rizal, dan kawan-kawan sedang tertawa terbahak-bahak sambil membawa botol minuman keras. Disana juga ada benda-benda lain dan aku menyimpulkan bahwa barang-barang yang bersama mereka adalah barang curian atau rampokan. Boim dan Rizal memang terkenal nakal di sekolah selain itu mereka juga suka memalak anak-anak kecil hanya untuk mendapatkan uang. Tiba-tiba aku tersentak saat sebuah ranting jatuh di sampingku. Mereka yang mendengar ranting itu jatuh langsung melihat ke arahku. Aku kemudian lari dari semak-semak itu dan mereka mengejarku. Kuambil sepedaku dan kuayuh sepeda itu sekuat tenagaku, tak sadar jika rantai sepedaku copot. Tapi untunglah mereka tak terlihat mengejarku. Akhirnya aku pun berjalan sampai ke rumah Afin.
Setelah sampai disana, ternyata rumah Afin sudah sepi, pintunya tertutup dan lampu rumahnya sudah gelap. Aku tak berani mengetuk pintu, karena aku tahu mereka pasti sudah tidur, dan aku sudah terlalu malam berkunjung. Lalu kuputuskan untuk pulang. Tapi aku juga merasa takut untuk pulang, karena aku harus melewati jalan yang sepi dan gelap itu. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus pulang. Ibu pasti sudah khawatir karena aku pulang malam sekali.
Setelah kuperbaiki sepedaku aku berusaha menenangkan diriku, kuhempuskan nafasku pelan-pelan. Sesudah itu mulailah aku mengayuh sepedaku lagi. Ketika sampai di jalan yang sepi dan gelap itu jantungku berdetak kencang, hatiku was-was tak karuan dan pikiranku tak tentu arah. Kupercepat jalan sepedaku, kulihat kanan kiri jalan. Sepi dan sunyi. Yang terdengar hanyalah jangkrik-jangkrik yang sedang bernyanyi. Tapi semua ketakutan itu pudar setelah beberpa menit kemudian aku keluar dari jalan itu.
Tok. . . . tok. . . . tok.
“Ini Evan, bu.” kataku dari luar rumah.
Tak lama kemudian ibu membuka pintu rumah
“Kok pulangnya malam sekali. Apa terjadi sesuatu di jalan?” tanya Ibu padaku.
“Tidak bu, Evan baik-baik saja. Buktinya Evan pulang dengan selamat.” jawabku untuk meyakinkan Ibu.
“Ya sudah cepat tidur. Biar besok tidak terlambat ke sekolahnya.” perintah Ibu padaku.
“Iya, bu.” jawabku singkat.
Setelah itu aku masuk dan menuju kamarku. Kubaringkan tubuhku di kasur. Kuletakkan kedua tanganku dibawah kepala sambil membayangkan dan berfikir apa yang sebenarnya telah terjadi. Tapi akhirnya aku pun tertidur.
Tok . . . . tok . . . . tok.
“Cepat buka pintumu Van. Aku tahu, kamu tadi mengintaiku dari jauh. Sekarang keluarlah dan katakan apa maumu.” kata pengetuk pintu itu.
Aku terbangun dari tidurku. Aku berdiri tapi diam membisu bagaikan patung. Wajahku pucat, darah pada tubuhku seakan berhenti mengalir.
“Aku Boim, disini aku, Rizal dan kawan-kawanku siap untuk memberikan pelajarn untukmu.” kata Boim dengan keras.
“Apa? Boim? Apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku tadi mengintai mereka? Kenapa tadi Boim melihatku, padahal aku sudah berlari jauh dari mereka?” tanyaku dalam hati.
Pertanyaan-pertanyaan membuat kepalaku tambah pusing.
“Satu, dua, tiga.”
Brak . . . . brak . . . ., pintuku akhirnya terbuka karena mereka mendobraknya. Tanpa basi Boim, Rizal dan kawan-kawannya telah siap menghajarku.
Dug . . .dug . . . Plak . . . plak.
Berulang kali Boim dan kawan-kawannya memukulku. Aku tak bisa melawan mereka. Jumlah mereka sangat banyak, tenaganya pun dua kali lipat lebih banyak dibandingkan aku. Aku pun hanya bisa pasrah pada mereka. Setelah lama menghajarku merka kemudian pergi begitu saja.
Aaaa . . . .tiba-tiba aku menjerit sekuatku. Setelah kubuka mata lebar-lebar, kulihat Ima sedang menggigit lenganku sambil tersenyum. Aku pun sadar bahwa kejadian itu hanyalah mimpi buruk.
“Maaf kak, abisnya kakak tidak bangun-bangun. Ya terpaksa aku menggigit lengan kakak .” kata Ima.
“Oh tidak apa-apa. Kamu kok sudah rapi. Memangnya mau berangkat jam berapa? Ini kan masih pagi?” tanyaku pada Ima.
Tanpa bicara Ima menyodorkan jam kecil di mejaku. Ternyata sudah pukul 06.30. segeralah aku melompat dari kasur lalu menuju kamar mandi. Satu detik, dua detik dan lima menit kemudian, aku sudah siap berangkat sekolah bersama Ima.
Seperti biasa aku datang tepat waktu yaitu tepat saat pintu gerbang hampir ditutup. Dan kata maaflah yang selalu menemaniku ketika awal pelajaran. Karena guru yang mengajar jam pertama datang lebih dulu daripada aku.
Satu, dua, tiga, empat jam pelajaran telah berlalu, kini istirahat telah tiba. Aku melirik ke arah Afin, dia masih duduk di kursinya. Lalu kuajak makan di kantin, aku membantunya berjalan karena kakinya sedikit terluka karena kejadian kemarin. Aku dan Afin sudah lama bersahabat jadi saat salah satu terkena musibah, kami saling membantu. Aku sudah menganggap Afin seperti saudaraku sendiri.
Setelah kami lama di kantin, Afi dan aku kemudian kembali ke kelas. Tiba-tiba Boim, Rizal dan kawan-kawannya datang menghampiri kami.
“Heh Fin, gimana? Udah sembuh? Atau pengen tambah lagi?” kata Boim pada Afin.
“O . . . . jadi kamu yang memukuli Afin?” tanyaku pada Boim.
“Kalau iya, kamu mau apa?” Boim balik bertanya padaku.
“Afin itu sahabatku, jadi aku akan membelanya apapun yang terjadi.” kataku pada Boim.
Kulihat Rizal hampir memukul Afin. Aku berusaha menghalangi, dan akhirnya pukulan itu tertuju padaku. Tepat diperutku. Akhirnya aku pingsan di sana.
Setelah beberapa jam, aku pun sadar. Perutku terasa sakit, kepalaku juga pusing. Kulihat Ibu dan Ima melihatku dengan wajah cemas.
“Jangan cemaskan Evan. Evan tidak apa-apa, besok juga sembuh.”hiburku pada mereka.
“Apa yang sebenarnya terjadi Van? Kenapa kamu sampai seperti ini?” tanya Ibu padaku.
Aku tersenyum lebar untuk menghibur mereka, tetapi Ima malah menangis dan menangis semakin keras. Lalu memeluk tubuhku dengan erat. Sebenarnya pelukan itu menambah sakit tubuhku, tapi semua itu hilang saat kulihat Ibu tersenyum dan Ima berhenti menangis.
Pagi telah tiba, aku menguatkan tubuhku untuk bangun, kemudian mandi da siap-siap untuk sekolah. Kulihat Ibu sibuk memasak, baunya harum gosong, tapi tak apalah, Ibu pasti sudah susah payah membuatkanku.
“Masak apa, bu?” tanyaku pada Ibu.
“Goreng tempe, tapi minyaknya cuma sedikit, jadi ya gosong begini.” jawab Ibu.
“Ya tidak apa-apa, bu. Nani rasanya malah enak seperti tempe panggang.” hiburku pada Ibu.
Ibu hanya melirik ke arahku kemudian tersenyum. Hatiku sangat bahagia melihatnya.
“Ima dimana, bu?” tanyaku pada Ibu.
“Masih di kamar.” jawab Ibu.
“Ima . . . . cepat kesini. Sarapan sama kakak dan Ibu.” pintaku pada Ima.
“Iya kak, sebentar.” jawab Ima dari kamarnya.
Kuayuh sepedaku dengan hati-hati bersama Ima. Tapi sayang ditengah perjalanan ban depan sepedaku bocor. Kemudian aku menuntunnya denag Ima. Dari jauh kulihat mobil jeep milik Afin melaju ke arah kami. Aku yakin itu mobil Afin, karena aku hafal plat nomornya. Aku berniat menitipkan Ima supaya tidak terlambat. Tapi mobil itu malah melaju dengan cepat dan tidak berhenti pada kami. Aku akhirnya berjalan bersama Ima untuk sampai ke sekolah.
Setelah pulang sekolah, aku pulang bersama Afin. Tiba-tiba kami dihadang oleh Boim dan kawan-kawannya. Kulihat mereka membawa kayu ditangannya.
“Afin cepet kamu minta maaf padaku dan ganti rugi atas semuanya.” kata Boim dengan lantang.
“Tidak sudi aku minta maaf padamu dan aku tak kan memberikan uang sepersen pun padamu.” jawab Afin.
Setelah itu kulihat Boim akan memukul Afin dengan kayu yang dibawanya, tapi aku menghalanginya. Kayu itu pun akhirnya tertuju padaku. Kepalaku terasa pusing, mataku buram. Akhirnya aku pun tak sadarkan diri.
Setelah lama aku pingsan, aku pun sadar. Aku melihat Ibu dan Ima tidur disamping kasurku. Aku tak membangunkan mereka, tapi aku malah ikut tidur sampai pagi tiba.
Bau harum khas masakan Ibu membangunkanku menusuk hidung sampai aku tersedak kemudian terbangun. Tak lama setelah itu, Ibu masuk ke kamarku dengan membawa sepiring nasi goreng. Kami kemudian makan bersama-sama di kamarku.
Tok . . . . tok . . . .tok.
Tiba-tiba suara ketukan pintu memecahkan keheningan saat kami makan. Ibu segera berdiri, kemudian berjalan untuk membuka pintu. Kudengar pembicaraan Ibu dengan seseorang. Kudengarkan pembicaraan mereka. Ternyata orang itu adalah penagih hutang dan aku baru tahu jika Ibu ternyata punya hutang yang cukup besar pada mereka. Aku pun merasa tak berguna, aku seharusnya membahagiakan ibuku bukan membuat Ibu sedih seperti ini.
Aku banyak ketinggalan pelajaran, karena sering tak masuk sekolah. Tapi sekarang aku sudah mulai rajin sekolah lagi. Tapi aku ada yang aneh dengan Afin saat di sekolah. Dia seperti tak mengenalku lagi. Dia merasa tak peduli dengan keadaanku, padahal aku seperti ini karena aku melindunginya dari Boim.
Ketika pulang sekolah kami pun hanya berdiam diri. Tiba-tiba Boim datang lagi.
“Hai Van, Fin. Gimana kabar kalian?” tanya Boim padaku.
“Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa maumu?” kata Afin pada mereka.
“Em . . . . em. Sebelumnya aku mau minta maaf padamu Im, aku telah mencampuri urusan kalian. Sekarang aku ingin berteman denganmu. Masalahmu dengan Afin tetap menjadi urusan kalian sendiri.” jelasku pada mereka.
“Oke tak masalah, sekarang cepat kamu pergi sebelum aku berubah pikiran.” perintah Rizal padaku.
Aku kemudian melangkah untuk pergi. Setelah beberapa langkah Afin menghampiriku, dia marah padaku. Tapi aku tak memperdulikannya. Karena sekarang aku tahu, Afin bukan sahabat yang baik, dia hanya memanfaatkanku disaat dia sedanng susah. Kemudian aku meninggalkannya begitu saja. Pulang sendirian hanya ditemani sepeda bututku.
Saat aku hampir sampai rumah, kulihat ada orang-orang yang sedang bergerombolan dipinggir jalan. Aku berusaha menerobos untuk melihat apa yang terjadi. Tapi karena gerombolan itu terlalu banyak, aku tak bisa menerobosnya. Tiba-tiba mataku tertuju pada kotak kecil disela-sela gerombolan orang itu, kemudian kulihat isinya.
Untuk Evan,
Selamat ulang tahun yang ke-17
Semoga selalu dalam lidungan Allah SWT
Dari Ibumu
Aku kaget melihat surat itu, di dalamnya juga ada dua tempe goreng buatan ibuku. Aku tak kuasa melihat semua itu. Hatiku risau. Aku tak kuat lagi menahan air mata, lalu kucicipi tempe itu. Enak sekali, lebih enak dari tempe restoran. Aku yang kini telah terjadi. Lalu aku menghampiri gerombolan tadi. Aku memaksa menerobosnya. Dan disana kulihat Ibuku tergeletak dengan darah mengalir di kepalanya. Kujatuhkan badanku ke tanah, lalu berteriak sekeras mungkin. Air mataku semakin deras mengalir, sampai air mata itu membasahi wajah Ibuku yang sudah terbujur kaku itu.
Empat puluh hari telah berlalu, tapi kejadian tragis itu masih teringat jelas di kepalaku. Tapi saat aku bertemu dengan Ima, perasaan itu kusimpan rapat-rapat. Ima masih telalu kecil untuk mengetahui kejadian pahit ini. Mulai saat itu aku tak sekolah lagi, aku bekerja untuk membiayai sekolah Ima. Aku telah gagal membahagiakan ibuku. Sekarang aku tak boleh gagal membuat Ima bahagia.
Satu tahun sudah kejadian itu telah berlalu. Sekarang aku mulai sadar, kesedihan akan membuatku semakin terpuruk. Kini saatnya aku bangkit dari keterpurukan itu. Mencari masa depan yang lebih baik.
Satu tahun itu bertepatan denga hari ulang tahun Ima. Aku pun ingin memberikan sesuatu untuk Ima. Lalu terlintas dalam pikiranku untuk membelikannya sarapan spesial. Lalu aku bergegas untuk pergi ke warung. Tapi kejadian naas kembali terjadi. Aku terserempet mobil, kepalaku terbentur batu. Karena terlalu banyak darah yang keluar dari kepalaku, aku akhirnya tak tertolong lagi. Dan aku tak meninggalkan apapun untuk bisamembahagiakan Ima. Aku telah pergi menyusul Ibuku di alam lain.
Nasib Ima pun tak beruntung, setelah aku dan ibu pergi. Dia tak terurus lagi. Rumahku pun disita untuk melunasi hutang. Ima pun akhirnya menjadi gelandangan.
Home »
Cerita pendek / Cerpen
» cerpen kehidupan dan penderitaan
cerpen kehidupan dan penderitaan
Label:
Cerita pendek / Cerpen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment